Tuan yang Malas


"Pelayan, ambilkan aku kue yang kemarin kuminta kau belikan!"

Baik.

"Pelayan, paket yang kupesan sudah datang, petugas menaruhnya di depan pintu!"

Baik.

"Pelayan, aku bosan dengan film ini, ganti dengan yang lain!"

Cukup, "Maaf tuan, bukankah remote tersebut berada di meja? Anda hanya perlu berdiri dan menjangkaunya tanpa harus memanggil saya," aku tahu tidaklah sopan menentang perintah dari majikan, tetapi bukankah ini sudah cukup keterlaluan? Aku semata-mata di pekerjakan agar ia dapat terus berada di sofa favoritnya tanpa perlu mengangkat pantatnya sedikit pun.

Namun, berbanding terbalik dengan mulut yang dengan lancang melontarkan penolakan, mataku terus melihat kebawah seolah menolak melihat kemarahan seperti apa yang akanku terima. Benar saja tak lama tuan berteriak dengan begitu kerasnya, "APA MAKSUDMU ITU?! KAU HANYA PELAYAN! LAKUKAN SAJA YANG KUSURUH!" Aku menciut, aku tahu itu, maka dengan susah payah aku lontarkan permintaan maaf, "Tolong maafkan saya, saya tidak berniat apa pun, saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi."

Aku mendengarnya mendengus, "Aku lelah harus menghadapi kelancanganmu, aku akan tidur. Aku tak ingin siapa pun atau apa pun membangunkanku, habis kau jika aku terbangun karena ketololanmu!" Entah apakah permintaan maafku dapat ia terima atau ia hanya merasa kelelahan untuk memakiku lebih lama, yang mana pun itu aku segera memohon undur diri dari hadapannya.

Dengan perlahan aku keluar dari ruangannya, melakukan pekerjaan rumah tanpa mengeluarkan suara sedikitpun bukanlah tugas yang mudah, tetapi aku tetap harus melakukannya jika tak ingin membuatnya lebih murka lagi. Satu per satu pekerjaan rumah berhasil kuselesaikan tanpa mengundang teriakannya, aku terduduk di lantai ketika gendang telingakku menangkap berbagai bunyi derap sepatu.

Aku penasaran sekaligus ketakutan, bagaimana jika suara dari luar membangunkannya? Dengan perasaan ragu aku mendekati pintu dan membiarkan telinga bersentuhan dengan pintu. Samar-samar aku dapat mendengar seseorang berkata bakaran, aku terus menghimpit telinga ke pintu, sekadar berusaha mendengar dan memahami apa yang sebenarnya terjadi.

Rasa frustasi menyerang kala suara tersebut perlahan menghilang, dengan segenap keberanian yang tersisa aku membuka pintu, sedikit demi sedikit hingga pintu tersebut memberikan ruang untukku keluar, kaki kiri yang disusul dengan kaki kanan bersamaan dengan tubuh yang kucondongkan ke depan. Rasanya aku lupa untuk bernapas ketika harus mengunci pintu, aku harus melakukannya agar tidak ada orang asing dengan lancang membangunkannya.

Asap langsung menjumpaiku ketika benakku tak lagi dipenuhi oleh tuan, asap yang sudah tebal bersamaan dengan si jago merah yang perlahan mendekat. Belum sempat aku mencerna situasi yang terjadi sebuah suara berteriak, untung saja ia menutup mulut dan hidungnya dengan sapu tangan sehingga teriakannya tidak membangunkan tuan.

Orang itu berkata dengan panik bahwa terjadi kebakaran dan kami harus keluar saat ini juga, tangannya telah memegang lenganku dengan erat, tetapi aku tetap terdiam. Tuan masih berada di dalam sana, tetapi ia menyuruhku untuk tidak membangunkannya. Seorang pelayan harus mematuhi perintah majikannya, bukan? Karena itu aku membiarkan orang asing tersebut menarikku keluar dari kepulan asap.

Tuan, tolong jangan marah, saya hanya mematuhi perintah anda.

Komentar