Trembesi

 


"Kau lemah sekali, masa lari segini saja tidak bisa,"

"Payah sekali kau, pantas saja ibumu menelantarkan kau,"

Dua bocah itu tertawa riang menatap seorang anak lelaki yang baru saja sampai di hadapan mereka, mukanya merah ditambah pundaknya yang terus bergerak keatas dan kebawah membuat bocah tersebut semakin terlihat menyedihkan, tubuh kecilnya berusaha terus berdiri dan perlahan mendekati kedua anak yang masih asik tertawa.

"Ibu tidak menelantarkan aku!"

Tawa itu sempat terhenti ketika bocah kecil itu, Aditya, mengeluarkan teriakannya yang lengking, baik Hadyan dan David hanya berpandangan sebelum akhirnya semakin tertawa keras seakan baru saja melihat hal terlucu di dunia, dengan susah payah Hadyan mengambil napas sebelum kembali menghadap Aditya, "Kau bodoh ya, jelas-jelas ibumu pergi tengah malam bersama seorang pria tua, mamaku yang melihat sendiri ketika ibumu naik mobil bersamanya dan tak pernah kembali."

"Apalagi," tambah David, "mamaku bilang sekarang ayahmu seperti orang gila, hanya diam dirumah dan kerjaannya mabuk-mabukan, sungguh malang," kembali tawa terdengar di pinggir pepohonan yang sepi, mereka terus tertawa hingga mendengar suara gemerisik dari atas sana.

Semua terdiam dan melihat seutas pita yang terikat di salah satu dahan pohon trembesi, pita berwarna putih itu melambai seolah memanggil mereka untuk mendekat, dengan rasa penasaran yang tinggi Hadyan berjalan maju menuju pohon besar itu, "Siapa yang mengikat pita itu? Tinggi sekali," dengan suara yang telah lebih tenang Aditya membuka mulutnya, "Ada seseorang yang bilang bahwa pita itu dapat mengabulkan permohonan."

Hadyan maupun David kembali menatapnya dengan tatapan mengejek, "Siapa yang mengatakan hal bodoh itu, paling-paling ibu yang sudah menelantarkanmu itu," tawa dari keduanya tak lagi membuat Aditya marah, bola matanya hanya terus menatap pita tersebut dalam diam. Hadyan yang merasa kesal dengan tingkah Aditya kembali menatap pita yang terus melambai mengikuti angin, "Omong kosong, aku akan mencabutnya dari situ."

Dengan langkah mantap ia meraba pinggiran pohon untuk mencari pijakan, David yang terkejut pun segera menyusulnya, "Apa kau yakin bisa? Pita itu berada di dahan yang tinggi sekali," Hadyan yang telah berhasil sampai di dahan terdekat segera memandangnya rendah, "Segitu saja kau takut? Ternyata kau sama payahnya dengan dia,"

"A-aku tidak payah! Segitu saja aku bisa memanjatnya dengan mudah!" Kini kedua lelaki itu terus memanjat sembari saling melemparkan ejekan kepada yang tertinggal, terus dan terus hingga akhirnya mereka sampai pada dahan pita tersebut berada. Keringat membanjiri tubuh kala mereka berusaha menggapai pita tersebut, dengan susah payah Hadyan berhasil melepaskannya dan mengacungkannya ke bawah, "Lihat! Sekarang benda bodoh ini sudah tak bisa mengabulkan apa pun lagi!"

"Kemana si payah itu?" Bola matanya terus menatap kebawah, disusul David yang juga kebingungan, "Mungkin dia sudah lebih dulu pulang," kejengkelan kembali menghampiri Hadyan, dengan dengusan ia menatap temannya itu, "Sudahlah dia tidak seru, kita pulang saja."

Hening. Mereka membatu kala menatap kebawah, menyadari ketinggian yang telah mereka lewati, "Ini, bagaimana kita turunnya, yan?" Ketakutan mulai merambat ketika tanpa sengaja Hadyan nyaris terjatuh dari dahan, keputusasaan menyerang dua bocah lelaki itu. Tak jauh dari sana Aditya terus berjalan menjauh menghiraukan teriakan juga tangisan yang semakin jauh semakin terdengar samar.

Sesuai dengan perkataan ibunya, pita putih tersebut telah mengabulkan permohonannya.

Komentar