Ruang Bawah Tanah


    Jam dinding telah menunjukkan pukul 17.00 ketika sang owner mulai memasang papan sambutan di depan pintu sebuah bar bergaya minimalis dengan ornamen kayu yang terletak tak jauh dari pedesaan kecil. Bar kecil yang terdiri dari ruangan utama dan ruang bawah tanah itu telah bertahan puluhan tahun hingga akhirnya sang owner yang telah dipenuhi kerutan memutuskan bahwa bar lokal ini telah menemui hari akhirnya.
    Ia sedang membersihkan meja ketika lonceng yang berada diatas pintu berbunyi, "Oh, selamat dat--," derap kaki yang tergesa-gesa menghentikan ucapan owner, dengan alis miring keatas serta mata lebar yang sibuk melirik kanan dan kiri ia terus melangkah mendekat, "Tolong- huh, akan dibunuh--" keringat terus mengalir kala lelaki tersebut terus membiarkan kalimat terus keluar tak teratur dari mulutnya.
    "Tenanglah dulu, akan dibunuh? Ap-apa maksudmu?" Kerutan didahinya semakin terlihat tatkala ia berusaha menenangkan lelaki asing yang bahkan tak bisa mengatur napasnya sendiri, tanpa mengurangi ketakutannya ia kembali mendekat dan meremas tangan kurus sang owner, "Tolong sembunyikan saya, dimana saja! Tolong saya!"
    "Baiklah, akan saya bantu, pergilah ke ruang bawah tanah, diamlah disana sampai anda tenang, saya tidak akan memberitahu siapa pun bahwa anda ada disini," raut wajah yang sedari tadi ketakutan perlahan menjadi tenang seolah perlahan berhadapan dengan cahaya terang, ia mengangguk berkali-kali sembari menjabat tangan tanpa peduli apakah genggamannya terlalu kuat atau tidak.
    Tanpa banyak berkata lagi sang owner menujuk satu-satunya pintu- selain pintu masuk- yang akan membawa lelaki asing itu ke tempat penyimpanan alkohol. Sekali lagi sang lelaki mengangguk dan berjalan cepat ke arah pintu yang tak terkunci, dengan gerakan cepat ia menutupnya. Suasana pun kembali hening, bola matanya terpaku pada pintu tersebut selama beberapa saat sebelum akhirnya lonceng kembali berbunyi dan menampakkan seorang gadis muda yang kelelahan.
    Satu per satu pelanggan berdatangan, hari semakin larut hingga akhirnya langit mulai kembali menampilkan warna indahnya, perpaduan biru tua dan ungu. Dengan rasa lelah ia berusaha mengangkat papan sambutan ketika sebuah suara memanggilnya dari belakang, lelaki itu berwajah tegas walau tidak menakutkan, ia menatap lekat sang owner seolah tengah meneliti suatu objek.
    Secara terlatih senyum ramah hadir di wajah sang owner, "Ah, kau pasti dari perusahaan yang akan mengurus bar tua ini," berbanding terbalik dengan keramah-tamahan yang diberikan, petugas itu hanya mengangguk dengan sikap sempurna seolah tengah menunggu intruksi seperti apa yang akan diberikan. "Kalau begitu kalian bisa mulai saat ini saja, aku sudah menutupnya dan untuk barang-barang yang ada di dalam kalian urus saja baiknya bagaimana,"
    Netra lelaki itu menatap lama bar milik sang owner dan dengan sekali gelengan ia kembali memusatkan perhatian pada sang pemilik yang sama tuanya, "Saya rasa tidak ada barang yang cukup berharga untuk dijual, dan sesuai dengan kesepakatan, kami akan menghancurkan bar ini hingga rata dengan tanah," kepalanya mengangguk secara konstan sembari mendengarkan strategi yang lelaki ini berikan untuk mengakhiri bar tuanya.
    "Ya, begitu saja, lagi pula tidak ada barang berharga yang tersisa, lakukan saja apa pun yang kalian mau," setelah itu ia berjalan pergi meninggalkan lelaki itu yang mulai sibuk dengan ponselnya, sang owner terus berjalan hingga ia mendengar suara bangunan rubuh, perlahan ia berbalilk dan melihat sebuah alat penghacur telah berhasil meratakan barnya dalam sekali ayunan, 'Rasanya aku melupakan sesuatu,' bola matanya terus terpaku pada ayunan penghancur hingga akhirnya ia kembali melanjutkan perjalanan, 'Yah, kalau aku lupa artinya tidak penting.'

Komentar