Jika saja...


Periode itu kembali datang, membuat sekujur tubuhku terasa panas, aku dapat merasakan cairan yang terus mengalir dari bawah tubuhku, selama beberapa saat aku bergelung diantara bantal-bantal tanpa berniat membuka mata hingga ketika indra ku menangkap suara lembut seorang wanita. Ia perlahan duduk di kasur tempatku berada, membelaiku dengan rasa sayang yang juga menenangkan, perlahan aku membuka mata dan mendapati Ibu berada disana dengan raut wajahnya yang tersenyum lembut.

Senyuman itu sungguh lembut hingga orang lain yang melihatnya akan mengira ia tidak mengerti apa yang anak sulungnya rasakan, tetapi aku tahu bahwa ia sedang khawatir dengan keadaanku saat ini, kurasakan belaian yang terus ia berikan di pelipisku yang telah basah oleh keringat, dengan lemah aku tersenyum kepadanya, "Aku hanya sedang heat bu, jangan khawatirkan aku, tetap pergilah berlibur bersama ayah dan Ai-chan."

Aku melihatnya menggeleng kepala, kini ia tak lagi tersenyum, topeng yang ia kenakan kini runtuh dan menampilkan sepasang mata berwarna amber yang dibalut dengan penolakan, "Justru karena kau sedang dalam masa heat ibu tidak bisa meninggalkanmu, siapa yang akan memberimu makan? Siapa yang akan menjagamu? Ini memang sudah hari terakhir dari periodemu, tetapi tetap saja tidak. Kita masih bisa menjadwal ulang liburan kali ini, kau tidak perlu memikirkan soal tiket yang telah kita pesan."

Perlahan aku menggerakkan lengan untuk menopang tubuh, menggerakkannya hingga aku dapat duduk tegak menghadap pada ibu yang kini memegang bahuku seolah takut aku akan rubuh kapan saja, "Bukankah kita semua telah merencanakannya selama berbulan-bulan? Lagi pula harga tiket itu tidak murah bu," perlahan aku mengelus tangan ibu, senyuman ku berikan sebagai bantuan untuk menenangkannya, "Aku akan baik-baik saja, dan jika masa heat-ku sudah selesai aku akan langsung menyusul kalian."

Tampaknya bujukanku berhasil kala melihat keraguan mulai terpancar dari wajahnya yang kini telah dihiasi oleh kerutan halus, kami berpandangan lama seolah ibu ingin benar-benar memastikan keadaanku sebelum mengambil keputusan, dengan lembut aku kembali mengelus punggung tangannya sembari melemparkan senyum terbaik yang bisa kuberikan saat ini.

Hembusan pelan terdengar dari mulutnya, "Baiklah kalau Shin-chan bilang seperti itu, tetapi kau baru boleh menyusul jika periodemu telah benar-benar selesai, kami akan menunggu jadi pastikan dahulu tubuhmu sendiri, kau mengerti?" Kini kami berdua hanya tersenyum, panas yang kurasakan perlahan menghilang kala kami tertawa bersama, "Janji." Dengan riang aku mengangkat jari kelingkingku yang disambut dengan kelingkingnya.

Hari itu pun berlalu, aku hanya dapat mengantar kepergian mereka di depan pintu kamar sebelum akhirnya kembali menutup dan menguncinya kala rasa panas itu kembali. Tak ada lagi yang dapat kupikirkan setelahnya, aku kembali menjatuhkan diri pada kasur yang telah dipenuhi banyak bantal, bagian bawahku terus menghasilkan cairan tanpa lelah ketika aku mulai memberikan kepuasan yang sedari tadi diinginkan disertai lenguhan dan desahan yang tak dapat kutahan. 

Entah sudah berapa lama aku tertidur, kasurku telah berantakan ketika aku memutuskan untuk bangkit. Matahari telah sepenuhnya keluar ketika aku mengintip dari balik tirai biru muda kamarku, rasa panas itu telah hilang sepenuhnya dan tergantikan oleh rasa pening dan kamar yang jelas memerlukan pembersihan total.

Selangkah demi selangkah kuarahkan pada pintu kamar, terus berjalan ke arah kamar mandi yang terletak tak jauh dari kamar. Kunyalakan pancuran air kubiarkan membasahi seluruh tubuhku, selama beberapa saat aku hanya terdiam menikmati air hangat yang mengalir ke setiap celah tubuh. Dengan santai aku membersihkan tubuh dan segera berendam untuk menghilangkan segala ketegangan yang ku rasakan selama beberapa hari ini.

Air masih senantiasa menetes dari rambut ketika aku membersihkan kamar yang telah berantakan, kutata kembali segala sesuatu yang sebelumnya tidak berada di tempatnya, dengan cekatan aku membuka jendela cukup untuk udara segar mengalir masuk, menggantikan aroma yang ia hasilkan selama periodenya itu, 'Setelah ini aku akan mengabari ibu bahwa aku bisa menyusul mereka,' senyuman tak lagi dapat kutahan ketika mengingat sebentar lagi aku dapat bergabung dengan mereka.

Ting~ tong~

Kulangkahkan kaki kala mendengar bel yang berbunyi, keterkejutan perlahan tergantikan dengan rasa heran ketika melihat sepasang polisi telah berdiri di depan mataku. Rasa tak menyenangkan mulai merayapi tubuh ketika melihat raut wajah iba yang mereka berikan, tetapi perasaan tersebut langsung kutekan sembari menyapa kedua polisi gagah itu, "Ada yang bisa saya bantu?"

Pertanyaan pertama mereka berhasil membuatku tak nyaman ketika nama ayah, ibu, dan adikku disebutkan secara lengkap, aku hanya mengangguk canggung, "Apa terjadi sesuatu pada mereka?" Keringat dingin mulai membasahi tubuh yang baru beberapa saat lalu keluar dari bak mandi, tanpa sadar tanganku mencengkram pinggir kaus yang kupakai sembari memperhatikan pandangan keduanya yang perlahan semakin menunjukkan rasa iba juga bersalah.

"Kami mohon maaf," perkataan para polisi tersebut langsung menghancurkanku, "keluarga anda meninggal dalam kecelakaan tunggal ketika dalam perjalanan menuju bandara pagi tadi," benakku kosong seolah menolak memahami perkataan yang indra pendengaranku terima. Aku mengangguk ketika para polisi tersebut memintaku untuk menenangkan diri dan datang ke rumah sakit dimana "keluargaku" berada jika telah siap.

Kepalaku kosong ketika mempersiapkan diri, ketika masuk ke dalam taxi, dan ketika diantarkan oleh perawat ke ruang mayat, aku bahkan tak ingat bagaimana aku dapat berbicara dengan lancar selama perjalanan kemari. Kini dihadapanku terbaring dua tubuh dewasa serta satu tubuh kecil yang ketiganya, walau masih tertutup kain, dapat kukenal dengan sempurna.

Aku membiarkan perawat membuka kain yang menutupi wajah tubuh pertama, memperlihatkan seorang wanita yang akan langsung tersenyum lembut jika saja ia masih hidup, kini wanita itu terbujur kaku tanpa bisa membalas tatapanku yang kuyakin sangat menyedihkan kala mendengar perawat memberikan belasungkawanya dan pergi untuk memberikan "kami" ruang.

Hening. Kini semuanya terasa nyata kala tanganku menyentuh pipi pucat itu, wajah ibu yang tak terlihat terluka sama sekali lebih terlihat sedang tertidur daripada meninggalkan dunia. Cairan hangat terasa mengalir melewati pipiku, perlahan semakin banyak hingga pandanganku menjadi kabur oleh cairan tersebut. Tubuh tak lagi dapat menopang diri, membiarkan kedua tumit menerima bebannya kala tangan terus mencengkram pinggiran kasur.

Isakan perlahan mengalir bebas dari mulut, jika saja kemarin aku membiarkan ibu membatalkan rencana liburan, jika saja aku tidak memaksa mereka pergi, apakah aku sudah membunuh keluargaku sendiri? Apakah aku membiarkan mereka pergi tanpa tahu apa yang akan terjadi? Sakit-- rasanya tubuhku hancur bersamaan dengan isakan yang tak bisa kukendalikan.

Komentar