Berkemah

'Hah... segar sekali udaranya,' dengan perasaan bahagia aku membiarkan kepalaku keluar jendela mobil  yang dikendarai kakakku sembari menikmati angin yang membelai wajah dengan nyamannya. Mobil terus melaju membawa kami kepada suatu wilayah di hutan, benar, kami berencana untuk berkemah sebagai hadiah kepada diri karena telah bekerja keras.

Mataku terus memandang berbagai pohon dan segala keindahan yang diberikan sepanjang perjalanan, ketika mobil berhenti mataku langsung menemukan keluarga kecil yang terdiri atas sepasang suami istri beserta anak lelakinya yang kuyakin belum berumur 3 tahun. Sama seperti kami, mereka pun baru saja sampai dan sedang mempersiapkan diri untuk memilih tempat berkemah.

"Ayo, kita juga mengambil barang bawaan dan mencari tempat juga," dengan bersemangat kami membawa tas dan peralatan lainnya dari mobil, aku melangkah santai di samping kakakku yang lebih banyak membawa beban untuk perkemahan nanti, memang dia lelaki yang dapat diuntungkan tak seperti adik lelakinya ini.

Sembari berjalan aku dapat mendengar suara tangisan anak lelaki, 'Pasti bocah yang tadi, berisik sekali tangisannya,' dengan sedikit gerutuan aku menoleh ke arah kakak yang berjalan dengan senyuman segar seolah tak terganggu dengan keriuhan yang bocah itu sebabkan, "Kita pilih tempat yang jauh dari keluarga tadi saja kak, kau dengarkan suara bocah itu? Pasti sangat mengganggu saat malam hari."

Kami terus berjalan hingga akhirnya tangisan itu menjadi samar dan perlahan menghilang seolah ditelan angin, "Ah, disini tenang, disini saja kak sepertinya nyaman," aku hanya diam berdiri ketika ia menyapu sekitarannya dengan cermat seakan ingin meyakinkan diri bahwa lahan ini aman untuk digunakan berkemah, anggukan mantap ia berikan sembari bola matanya teralihkan kepadaku, "Disini bagus juga, baiklah mari kita bangun tenda disini!"

Satu per satu alat kami keluarkan dan dirangkai sedemikian rupa menjadi tenda yang memadai, aku bisa tenang berada di tengah hutan seperti ini karena kakakku sudah pandai dalam hal berkemah jadi aku tinggal mengikuti intruksinya. Kami menikmati sisa hari itu dengan bersantai, mengobrol tentang berbagai hal ditemani beberapa kaleng beer dingin.

Matahari terbenam tepat ketika kakak telah berhasil menyalakan api diatas tumpukan kayu kering, kami sedang asik memasak makan malam ketika panca indraku mendengar suara gemerisik dari salah satu semak tak jauh dari tempat kami berada, rasa terkejut membuat segala pergerakanku membeku, perlahan aku menatap kakakku yang tampak diam memandang sumber suara dengan was-was.

Suara itu kian lama kian mendekat hingga akhirnya sampai pada jangkauan penglihatan kami. Sesosok beruang cokelat tengah berjalan kearah kami dengan tampang tak bersahabat, dengan panik aku langsung berniat berlari jika saja lenganku tak ditahan oleh kakak, "Jangan lari, dia akan merasa dalam bahaya jika kau berbuat gegabah, tetap tenang dan berjalan menjauh secara perlahan."

Kakakku mungkin sudah gila, ia kini berusaha menarikku untuk berjalan menyamping secara perlahan sembari tetap mengawasi beruang yang terus mendekat. Dengan ketakutan aku melangkah mengikuti kakakku, kakiku gemetar membayangkan jika cakar tajam itu menembus kulit atau gigi itu menancap pada salah satu bagian tubuh, berbagai kemungkinan terburuk terus terbayang dengan lancarnya dalam benakku.

Krak-

Tanpa sengaja aku merasa telah menginjak salah satu dahan, mataku terbuka begitu lebar ketika melihat beruang tersebut menyadari keberadaanku. Rasa panik terus mengalir dibuktikan dengan suara kakak yang terasa jauh berusaha menenangkanku, mataku terus menatap sang pemilik tubuh besar yang perlahan mendekat tanpa peduli benda yang ia injak disepanjang jalan.

Rasa takut kini berhasil menguasai seluruh panca indraku, dengan hempasan kuat aku melepas pegangan kakakku dan berlari menjauh sekuat tenaga. Aku mendengar suara kakak yang berteriak memanggilku semakin menjauh bersamaan dengan langkah kuat dari sang predator yang semakin membuat bulu kudukku merinding.

Keringat dingin terus mengalir, 'Sial. Sial. Sial. Kenapa jadi begini?! Aku harus menemukan pengalih, apa saja.' Bola mataku bergerak dengan cepat mencari suatu hal yang dapat menyelamatkan diri, rasa putus asa mulai merambat ketika sudut mataku menemukan cahaya yang tak jauh dari tempatku berada. Tanpa pikir panjang aku berlari ke arah sumber cahaya tersebut dan menemukan sebuah tenda telah terpasang dengan mantap.

Aku berlari melewati tenda tersebut dengan kepanikan luar biasa, panca indraku tak lagi mendengar suara langkah yang sedari tadi kuhindari, tetapi tergantikan oleh tangisan seorang anak lelaki. Rasa heran sempat melewati pikiran hingga akhirnya ku singkirkan dan terus berlari, mungkin hanya perasaanku saja.

Komentar