Terima Kasih

Harapan itu dapat membawa kesenangan sekaligus kesedihan. Namun akan selalu dibutuhkan untuk tetap bertahan hidup.

Seperti saat itu, ketika matahari bersinar dengan terangnya seolah sedang merasa bahagia. Aku berjalan diiringi dengan senandung lagu yang sejujurnya tak memiliki judul.

Aku berjalan di koridor itu, melewati beberapa perawat dan pasien, menuju kamar teman sahabatku berada.

Setelah mengetuk dua kali, aku membuka pintu dan mendapatinya sedang duduk santai di atas ranjang, “Hai, coba tebak aku bawa apa,” sembari menahan tawa aku menatap wajahnya yang sedang berpikir.”

Hening. Rasa tertawaku telah hilang, tergantikan oleh kesal karena ia tak kunjung menjawab, “Jangan berpikir terlalu lama, jawab saja.”

Berbanding terbalik dengan raut wajahku yang kelas, gadis berpotongan rambut cepak itu mengeluarkan suara tawanya, “Hahaha…suara kau saat marah sangat lucu, aku tak bosan mendengarnya.”

Rasanya memang sulit untuk mempertahankan kekesalanku ketika melihat wajahnya yang ceria, “Terserah saja, nih untukmu.”

Tanpa memiliki niat bercanda, aku langsung memberikan kantung belanja berisi buku-buku yang selalu ingin ia baca, matanya yang sejak awal telah lebar, semakin lebar saja ketika melihat buku-buku itu.

Mulutnya terus terbuka seolah lupa bahwa rahangnya dapat tertutup sempurna, ia memandangku dan buku tersebut bergantian, “Ini beneran? Beneran kan?”

Aku hanya bisa menghela napas pendek sembari menganggukkan kepala, tanpa sadar sudut bibirku terangkat mendengarnya terus mengucapkan terima kasih.

Kami pun melanjutkan kegiatan dengan berbicara banyak hal, tentu saja kebanyakan adalah hal yang tak penting.

Ketika jam besuk hampir habis, ia memandangku lekat hingga aku hampir saja merasa salah tingkah, “Apa?” tak tahan lagi dengan pandangannya, aku pun memaksa mulut untuk bergerak.

Dia hanya tersenyum, menatap kembali buku-buku pemberianku, “Tidak, aku hanya sedang merasa sangat senang,” dengan bingung aku membalasnya, “Senang karena apa?”

“Karena harapanku telah terkabul.”

Dengan rasa penasaran aku tersenyum, “Harapanmu apa memang?” Dengan tawa kecil ia menatap buku yang berada di genggamannya, “Bisa mendapatkan sahabat yang selalu berada disisi dan tahu bagaimana membuatku bahagia, terima kasih.”

Rasanya wajahku memanas ketika mendengar ucapannya, otakku yang kosong pun akhirnya memilih untuk memalingkan wajah, diiringi dengan tawa lepasnya.

Aku bersiap pulang ketika pintu kamar terbuka, sepasang suami istri atau lebih tepatnya orang tua sahabatku datang dan langsung menyapa kami dengan ceria.

Mereka sempat menawariku untuk makan malam bersama, tetapi harus kutolak karena sudah berjanji akan pulang sebelum langit gelap.

Langit telah menjadi jingga ketika aku melangkah keluar rumah sakit, angin segar bertiup membelai wajah. Besok aku akan kemari membawa makanan kesukaannya.

Hari pun berlalu, aku yang sedang bersiap untuk pergi harus kembali ke kamar ketika melihat langit yang mendung, membawa payungku untuk berjaga-jaga. Tak lucu jika aku sampai harus terjebak di suatu tempat.

Aku pun melangkah, melewati jalanan yang telah kuhapal hingga rasanya aku dapat berjalan dengan mata tertutup dan dapat sampai tujuan.

Kakiku terus melangkah, aku tak sabar melihat wajahnya ketika tau aku membawa kue cokelat kesukaannya.

Senyum yang berusaha kutahan sedari tadi perlahan luntur, ketika mata menangkap sosok sepasang suami istri yang sangat kukenal sedang menangis di depan kamar sahabatku.

Sang ibu yang lebih dulu menyadari keberadaanku langsung berlari, lengannya yang terlihat rapuh memelukku dengan erat. Aku hanya terdiam, memegang erat tali kantong berisi kue cokelat. 

Jika ada kehidupan selanjutnya, aku harap kita dapat kembali menjadi sahabat.

Komentar