Taman Bunga
Sejak
kecil apa pun permintaanku akan selalu terpenuhi, apa pun itu. Mulai dari
barang mahal hingga perhatian semua orang yang ada disekitarku. Seperti ketika
aku ingin bermain, maka akan selalu ada seseorang yang menemaniku bermain. Jika
aku ingin sebuah mainan, barang itu akan ada di samping tempat tidurku keesokan
paginya.
Atau
ketika aku pergi ke pusat perbelanjaan, entah sekadar membeli kosmetik atau
membeli pakaian bermerek atau mungkin perhiasan, aku hanya perlu mengambilnya
tanpa perlu melihat harga. Bahkan sepertinya jika aku menginginkan seseorang, mereka
akan dengan senang hati menyetujuinya. Rasanya biasa saja, tak menyenangkan,
tetapi tidak menyedihkan pula.
Aku
selalu menganggap bahwa semua itu adalah hal yang wajar, bahwa itu adalah hal
yang sudah sepantasnya aku terima. Hingga suatu itu aku yang sedang
mengistirahatkan mata setelah selama berjam-jam melihat-lihat majalah fashion
mengarahkan atensiku kepada seorang gadis.
Pakaian
sederhana gadis itu cocok dengan wajahnya yang biasa-biasa saja. Ia terlihat
asik memandangi bunga yang berada di halaman depan rumahku melalui sela pagar. Aku
hanya menatapnya dengan rasa bingung, bagaimana
bisa ia terlihat begitu senang hanya dengan memandanginya dari sana?
Terdorong
oleh rasa penasaran, aku pun segera keluar kamar, dengan sedikit tergesa,
menghampiri gadis biasa itu sebelum ia pergi. Aku menghampirinya yang masih betah
berada di posisi yang sama seperti ketika aku melihatnya dari balkon.
Entah
apa yang dia pikirkan, senyumnya semakin lebar saat melihatku keluar dari
pagar, “Kau pemilik taman indah ini?” Aku hanya mengangguk seadanya sembari
melipat kedua tanganku di dada, “Kenapa kau terlihat senang sekali?”
Sekali
lagi ia mengejutkanku dengan aksinya, kali ini ia berteriak kecil sembari
menutup muka, disela-sela teriakan kecilnya aku sempat menangkap kata ‘malu
sekali’ atau semacamnya. Sungguh aneh
gadis ini, aku hanya terdiam dengan memasang wajah tak mengerti.
Seperti
tak menangkap raut wajah yang kuberikan, ia malah berusaha menenangkan dirinya
sendiri sebelum akhirnya kembali menghadap ke arahku, “Maaf, aku pasti terlihat
sangat aneh tadi,” kau memang sangat aneh,
“Aku hanya senang karena ada seseorang yang bertanya.”
“Bertanya
kenapa kau senang sekali?” Ulangku yang dibalas dengan anggukan bersemangat
darinya. Aku terdiam menatap binar matanya dan kepalan tangan, rasanya seperti
ia bisa meledak kapan saja, “Hari ini ayahku mendapat bonus dari pekerjaannya,
banyak sekali. Dan ayah bilang ia akan mengabulkan permintaanku dengan uang
itu.”
“Memangnya
papamu dapat berapa?” Sejujurnya aku tidak begitu tertarik dengan ceritanya,
aku hanya tertarik dengan nada suaranya yang begitu bersemangat, aku
memperhatikannya ketika matanya menatap sekitar dan mendekat seolah ingin
membisikan sesuatu yang sangat rahasia, “Dua ratus ribu.”
Rasanya
mataku terbuka terlalu lebar hingga mau keluar, perusahaan macam apa yang memberi bonus sekecil itu? Dia kembali
tersenyum lebar, dengan rasa muak yang tak bisa kutahan aku langsung
menumpahkannya, “Kau bercanda? Memangnya apa yang bisa kau beli dengan uang
segitu?”
“Biji
bunga. Aku ingin membuat taman yang indah seperti milikmu.” Sudah cukup. Aku tak bisa mengerti jalan
pikir gadis ini. Senyumnya yang sangat lebar. Memangnya permintaan sederhananya
dapat mendatangkan kebahagiaan?
Komentar
Posting Komentar