Seandainya…


Aku mengambil dan menyimpan barang sekenanya, dengan bagian diantara alis yang berkerut disusul helaan napas cepat. Bruk! Aku terus membuat keributan dengan barang-barang disekitarku.

Seseorang yang terganggu dengan suara tersebut segera menghampiri dengan raut muka yang tanpa perlu melihatnya pun dapat ditebak tak menyenangkan, "Apa yang sebenarnya kau lakukan? Tak bisakah kamu lakukan dengan lebih tenang?"


Tangan dan kakiku terus bergerak, mengambil barang dengan kasar dan menaruhnya sembarang bahkan hingga melemparnya, berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya seolah tak menyadari kehadiran sosok yang telah merawatku sejak berada di dalam kandungannya.


Ia terus berada disana, menunggu jawaban yang ia pun tahu tak akan dia dapatkan. Helaan napas masuk ke dalam telinga yang disusul dengan suara barang. "Setidaknya kembalikan lagi ke tempatnya, kau sedang mencari apa? Mama bantu carikan."


Sejujurnya tawaran itu sangat menggoda untuk kuterima, tetapi mulut tetap terkunci dan tangan terus bekerja dengan asal, bahkan kini mata dan tangan memiliki fokus yang berbeda. Aku terus berkeliling dan berhenti saat mata menemukannya. 


Sepasang anting dengan hiasan mutiara kecil yang entah bagaimana berada di bawah lemari baju. Dengan gerakan cepat aku mengambilnya, berjalan keluar ruangan tanpa mempedulikan wanita yang sejak tadi terus menatap kekacauan yang kubuat.


Langkah lebar kukeluarkan seolah ingin menghindari suara yang terus mengikutiku, “Tak bisakah kau melihat mamamu sebentar saja? Mama sedang berbicara denganmu.” Aku memutuskan untuk berhenti ketika pintu keluar telah berada di depan mata. Dengan hembusan napas pelan aku menengok sosoknya.


Wajah itu terlihat cemas sekaligus lega, mungkin karena akhirnya sang anak mau meladeninya. Otakku seolah membeku saat ingin mengucapkan beberapa kata yang selama ini tersimpan.


Tanpa sadar aku menarik napas panjang dan menatapnya dengan lembut, “Mah, seandainya dulu keadaannya lebih baik, banyak hal yang ingin kusampaikan dan bicarakan. Namun untuk saat ini hanya dua hal yang ingin ku sampaikan.”


Aku menatapnya lekat seolah air yang membasahi mata ini dapat menghapusnya dari pandangan, “Yang pertama adalah… aku mencintaimu.”


“Lalu, yang kedua.” Aku terdiam sejenak. “Maaf selalu merepotkanmu, aku baik-baik saja. Jadi, kuharap mama dapat tenang disana.”


Ia tersenyum lemah, kuharap karena perasaanku tersampaikan lewat kata-kata ini. Aku membuka pintu dan keluar dengan langkah mantap, pandanganku kembali kepada sosok itu, yang perlahan memudar lalu menghilang bersamaan dengan tertutupnya pintu keluar.


Aku pun melangkah, ke arah mobil yang telah menunggu dengan Papa di belakang kemudi. “Kau sudah menemukan anting pemberian mamamu?” Hanya anggukan yang sanggup kuberikan sembari tangan sibuk memakaikan anting tersebut ke telinga.


Perlahan mobil pun melaju ke arah tempat peristirahatan terakhir wanita yang kami cintai. Mungkin sekembalinya kami di rumah, aku akan langsung membereskan kekacauan yang telah kubuat.

Komentar