Pilihan


“Mari bermain.”

“Ayo, mau bermain apa?”

“Aku akan berikan dua pilihan, kau pilih salah satunya.”

“Ah, baiklah.”

“Okay. Di antara kucing atau anjing?”

“Kucing.”

“Oh, kau lebih suka kucing?”

“Ya, aku sempat berpikir untuk memelihara kucing.”

“Pertanyaan selanjutnya. Kopi atau teh?”

“Teh.”

“Kau jarang minum kopi?”

“Jarang dan hampir tidak pernah akhir-akhir ini.”

“Selanjutnya, tempat yang ramai atau tenang?”

“Tenang.”

“Kenapa?”

“Karena aku tak begitu bisa berlama-lama di suasana yang ramai.”

“Pantai atau gunung?”

“Gunung.”

“Sekarang pilihan tentang orang idamanmu ya.”

“Baiklah.”

“Kau harus menjawab dengan jujur.”

“Iya.”

“Berambut pendek atau panjang?”

“Panjang.”

“Yang lebih tinggi atau pendek darimu?”

“Pendek.”

“Celana atau rok?”

“Rok.”

“Ceria atau pemalu?”

“Pemalu.”

“…jujur atau bohong?”

“Di antaranya.”

“Katakan saja. Apakah semua jawabanmu itu jujur?”

“Tidak semua.”

“Kenapa?”

“Karena jika aku memilih sesuatu yang sesuai denganmu, kau akan berharap.”

“Aku tak boleh berharap?”

“Lebih baik jangan.”

“Tak ada ruang untukku?”

“Tak ada.”

“…”

“Maaf. Lupakan saja perasaan itu.”

Aku merendahkan pandanganku untuk menatap matanya. Tanpa sadar tangan mengelus rambutku yang dipotong cepak. Lelaki itu terdiam sembari membalas pandanganku tanpa minat, seolah orang yang berada di hadapannya tak memiliki arti lebih selain teman sekelasnya.

Tak ada lagi yang bisa kukatakan, rasanya pikiranku kosong dan tubuhku kaku. Perlahan ia pun berbalik dan melangkah pergi, bahkan tak sekali pun ia menengok. Aku pun ditinggalkannya, di koridor sekolah khusus pria ini.

Komentar