Melupakan
“Masih ada hal penting yang ingin kubahas.”
“Masih ada? Apa lagi?”
“Entah kau merasa atau tidak, tetapi
kau mulai egois.”
“Egois? Apa maksudmu? Aku tak
mengerti.”
“Lupakan sajalah, percuma jika kau
tak merasa.”
“Nah, sekarang malah kau yang
berhenti di tengah-tengah.”
“Untuk apa dibahas jika kau saja tak
akan mengerti.”
“Gimana caranya aku mengerti jika kau
saja tak mau bahas.”
“Paling-paling hanya masuk telinga
kanan keluar telinga kiri.”
“Istilah itu. Bukankah lebih cocok
untukmu?”
“Apa maksudmu? Aku yang salah disini?
Padahal aku berusaha menyelesaikan masalah kita.”
“Namun sedari tadi yang kau lakukan
tidak menyelesaikan apa pun.”
“Kau yang membuat semuanya menjadi
rumit.”
“Ga akan jadi rumit kalau sejak awal
kau langsung jelaskan.”
“Ah, sudahlah kita langsung ke
intinya saja.”
“Aku juga ingin langsung saja. Mari kita
selesaikan perdebatan ini.”
“Nah, baiklah. Aku ingin kita
berpisah. Selamat tinggal.”
“Tunggu—“
Aku mencoba menahannya ketika ia akan
pergi. Mencoba meminta penjelasan yang tentu saja berakhir sia-sia, kami sempat
menaikkan suara masing-masing dengan tanganku yang masih berusaha menahan
lengannya.
Ia berusaha melepaskan diri. Memberontak
dengan amarah yang jelas terlihat. Aku pun menyadari bahwa hubungan ini tak
dapat dipertahankan lagi, dengan berat hati aku lepaskan lengannya.
Tanpa kuduga, dia mendorongku dengan
keras. Saat itu rasanya tubuhku kaku dan pikiranku kabur. Kini aku hanya bisa
memandangnya bersama lelaki lain. Berbahagia. Padahal belum lama ini ada kabar
mengerikan, tentang seseorang yang tertabrak mobil karena di dorong oleh
pasangannya setelah bertengkar hebat. Katanya korban meninggal di tempat.
Komentar
Posting Komentar