Jika Saja Dapat Diubah


Hari ini adalah ulang tahunku, diluar hujan terus turun tanpa bosan dan menghantam apa pun yang dapat mereka kenai, hingga aku berpikir ada dendam apa langit kepada tanah? Apa pun itu aku tak memiliki hak untuk ikut campur. 

Aku pun mengalihkan pandangan dari jendela kamar. Disinilah aku, berlindung di dalam ruang studio apartemen yang telah kutinggali sejak beberapa tahun lalu, tak ada perayaan atau makanan yang kusiapkan di hari (yang menurut orang-orang) spesial ini. Aku hanya merayakannya dengan diriku sendiri.

Seolah tak peduli dengan hari kelahiran, pikiranku menolak untuk mengungkit ingatan menyenangkan dan malah membuka lebar pintu ingatan yang sebenarnya hanya dapat membuatku tersenyum pahit.

Pintu itu memiliki label “penyesalan” yang tertulis dengan jelas, rasanya diri ini ingin terus mengingat kebodohan yang telah ku buat. Padahal dalam hidup tentu saja akan ada penyesalan bukan? Saat sesuatu tak berjalan sesuai keinginan. Saat hal yang seharusnya dapat dilakukan, tetapi tak dilakukan. Saat semuanya telah berlalu.

Harus kuakui, terlepas dari besar kecilnya penyesalan tersebut. Penyesalan selalu membawa rasa tak nyaman di hati. Terkadang aku bukan ingin mengubah penyesalan ini, atau bahkan membuat penyesalan ini tak pernah ada. 

Aku hanya ingin membuang rasa tak nyaman di hati. Membuat kenangan penuh penyesalan ini berubah menjadi kenangan biasa. 

Seolah ingin mematahkan perkataanku, dengan pintarnya pikiran ini membawaku kepada satu-satunya penyesalan yang tak memiliki pilihan untuk direlakan. Mungkin jika aku bisa kembali kepada masa itu, aku dapat berkata dengan yakin bahwa aku akan mengubahnya.

Itu terjadi pada ulang tahunku yang ke-15. Dimana untuk pertama kalinya aku dapat merayakan hari itu dengan kehadiran papa dan mama di satu meja yang sama. Jika ulang tahun adalah hari yang spesial, maka hari itu adalah ulang tahunku yang paling istimewa.

Tak hanya papa dan mama, om, tante, dan nenekku pun hadir. Kami makan bersama dengan perasaan yang ceria (ku harap), saat itu aku duduk bersama dengan adikku. Di hadapanku hanya kursi kosong, sebelah kanan kursi itu adalah mamaku, sedangkan kakak dan papa duduk di sebelah kiri kursi kosong itu.

Saat itu aku tak terpikir apa pun. Bahkan tak terlintas untuk sekadar berfoto.

Tepat setelah acara telah selesai, ide itu muncul begitu saja. Tanpa rasa bersalah, seolah tak tahu malu dan tak tahu tempat. Dengan setengah hati, aku menanggung semua perasaan negatif itu sendirian. Tanpa tahu kapan kesempatan itu akan hadir. Apakah kesempatan itu akan berbaik hati untuk hadir kembali?

Entahlah…Aku kembali memandangi jendela kamar, membiarkan suara air hujan yang menghantam jendela menguasai ruangan ini.

Komentar