Bunga Tulip Merah


“Papa, kalo ini apa?” Aku menatap ke arahnya dengan sabar, lahan cokelat yang sudah ditumbuhi batang itu tampak luas dibandingkan tubuh mungilnya. “Itu nantinya akan jadi bunga tulip merah,” dia hanya ber-oh-ria sembari melihat batang tersebut dengan serius seolah benda tersebut adalah objek penelitian.

Seakan sudah puas meneliti, dia meninggalkan area bunga dan berlari mengelilingi taman dengan pandangan kesana-sini. Kurasa dia mencari hal lain yang menarik perhatiannya. Sungguh, anak yang penuh rasa ingin tahu. Sering sekali ia bertanya ini itu.

Aku kembali berkutat di depan laptopku sembari sesekali menatapnya sekadar memastikan dia aman. Tak butuh waktu lama, untuknya kembali menghampiri dan memperhatikan layar yang berisi berbagai data pekerjaanku.

“Papa kerja? Ga bisa main bareng?” Aku hanya tersenyum, mengelus puncak kepalanya yang dipenuhi oleh rambut ikal berwarna cokelat yang indah.

Perlahan tubuhku mengubah posisi agar dapat berhadapan dengannya, menatap netra yang juga berwarna cokelat, “Papa masih sibuk, kenapa tidak Layla bermain sendiri dulu?”

Tiba-tiba saja gadis itu menatapku lama, dengan penuh kebingungan aku hanya bisa membalas tatapan polos itu, “Papa, kenapa hanya menanam bunga tulip?”

“Karena itu kesukaan mama.” Jawabku singkat sembari terus mengelus kepala mungil itu. Dengan lucunya dia kembali ber-oh-ria. “Mama suka bunga tulip yang warnanya merah.”

Anggukanku bertepatan dengan suara bel pintu, “Ada tamu,” kembali aku mengangguk mendengar ucapannya, aku menatapnya sebentar, “Jadi anak baik, papa akan melihat siapa tamunya.”

Dengan senyum yang belum kulepas, aku membuka pintu dan disambut oleh dua pria gagah berpakaian polisi. “Ada yang bisa saya bantu?” Salah satu dari mereka maju selangkah, raut wajah sesalnya menarik perhatianku.

“Langsung saja, sebelumnya kami mohon maaf jika membuat anda terkejut. Apakah sebulan lalu anda melaporkan tentang hilangnya anggota keluarga?”

Aku cukup yakin raut wajahku penuh dengan rasa bingung, “Ya, saya melaporkan istri saya yang menghilang.”

Kulihat keduanya saling tatap sebelum akhirnya menyodorkan ponsel, “Kami menemukan tubuh yang memiliki ciri-ciri istri anda, jika berkenan bisa anda ikut untuk memastikan?”

Kembali. Rasa bingung menyerang. Aneh padahal aku melapor hanya untuk formalitas, aku berani bertaruh wanita ini bukan istriku. Karena aku yakin sudah menguburnya bersama biji tulip itu.

Komentar

Posting Komentar